Joan Rais dalam Singgih Dirga Gunarsa (2003: 237-240) mengungkapkan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan persepsi seseorang mengenai sikapsikap orang lain terhadap dirinya. Pada seorang anak, ia mulai belajar berpikir dan merasakan dirinya seperti apa yang telah ditentukan oleh orang lain dalam lingkungannya, misalnya orang tuanya, gurunya ataupun teman-temannya. Sehingga apabila seorang guru mengatakan secara terus menerus pada seorang anak muridnya bahwa ia kurang mampu, maka lama kelamaan anak akan mempunyai konsep diri semacam itu.
Pada dasarnya konsep diri tersusun atas tahapan-tahapan, yang paling dasar adalah konsep diri primer, di mana konsep ini terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan terdekatnya, yaitu lingkungan rumahnya sendiri. Pengalaman-pengalaman yang berbeda yang ia terima melalui anggota rumah, dari orang tua, nenek, paman ataupun misalnya saudara-saudara sekandung yang lainnya. Konsep tentang bagaimana dirinya banyak bermula dari perbandingan antara dirinya dengan saudara-saudara yang lainnya. Sedang konsep tentang bagaimana perannya, aspirasi-aspirasinya ataupun tanggungjawabnya dalam kehidupan ini, banyak ditentukan atas dasar didikan ataupun tekanantekanan yang datang dari orang tuanya. Setelah anak bertambah besar, ia mempunyai hubungan yang lebih luas daripada hanya sekedar hubungan dalam lingkungan keluarganya. Ia mempunyai lebih banyak teman, lebih banyak kenalan dan sebagai akibatnya ia mempunyai lebih banyak pengalaman. Akhirnya anak akan memperoleh konsep diri yang baru dan berbeda dari apa yang sudah terbentuk dalam lingkungan rumahnya, dan menghasilkan suatu konsep diri sekunder.
Konsep diri sekunder terbentuk banyak ditentukan oleh bagaimana konsep diri primernya. Apabila konsep diri primer yang dipunyai seseorang adalah bahwa ia tergolong seagai orang yang pendiam, penurut, tidak nakal atau tidak suka untuk mambuat suatu keributan-keributan, maka ia akan cenderung pula memilih teman bermain yang sesuai dengan konsep diri yang sudah dipunyainya itu dan teman-teman arunya itulah yang nantinya menunjang terentuknya konsep diri sekunder.
Maslow (1970: 69-80) mengemukakan lima buah teorinya mengenai kebutuhan-kebutuhan individu yang akan mempengaruhi perilakunya. Lima klasifikasi tersebut dengan istilah “hierarchy of needs” yang terdiri dari:
- The psycological needs, yaitu kebutuhan yang bersifat fisiologis misalnya makan, minum dan lain sebagainya.
- The safety needs, yaitu kebutuhan akan rasa aman, tenang, dilindungi dan bebas dari rasa takut.
- The belonginess and love needs, yaitu kebutuhan akan perasaan atau afeksi dalam berhubungan dengan orang lain, perasaan memiliki dan di sayangi serta dicintai.
- The esteem needs, yaitu kebutuhan akan harga diri, prestise dan prestasi, status, perasaan berguna dan menghargai sesama.
- The needs for self actualization, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut, setiap individu menunjukkan bentuk perilaku yang berbeda-beda dan tertentu. Bentuk perilaku tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan akhirnya menjadi karakteristik dirinya yang disebut dengan sifat. Sifat-sifat tersebut kemudian akan terorganisir dalam suatu bentuk karakteristik yang unik dan khas dari kebiasaannya.
Literature
Gunarsa, Singgih D. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia
Maslow, A.H. 1970. Motivation and Personality. New York: Harper & Row
Tidak ada komentar:
Posting Komentar